The Dolphin Dream

 
Oleh : Panji Pratama dkk
Harga : Rp. 35000
Ukuran : 14x20cm
Tebal : 232 hlm
Terbit : Oktober 2013
Penerbit : de TEENS
Sinopsis :

“Tanpa bisa kujelaskan secara nalar, kakiku langsung bergegas menuruni hotel dan berlari sekencangnya ke arah perempuan itu. Aneh, hari pertama kumulai dengan hal yang luar biasa. Dan, memang harus begitu. Kenapa harus diganggu dengan pemandangan tidak terduga. Gadis lokal berpakaian serba putih di tepian tebing menantang maut? Bunuh dirikah?”

Kisah-kisah terbaik dari lomba cerpen #SetiapKotaPunyaCeritaCinta tersaji dengan apik. Cerita-cerita berlatar kota-kota di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Raja Ampat. Ada air mata, pengorbanan, tawa, canda, keikhlasan, pun rindu. Semua kepingan rasa bercampur aduk menjadi petualangan maupun seni kehidupan.
Ada banyak cinta di #SetiapKotaPunyaCeritaCinta….

Dalam Kumcer ini, Admin Grup kita Sensei Panji Pratama jadi Jawaranya lho... Ia terpilih menjadi juara setelah menyisihkan lebih dari 800 cerpen. keren kan...

PAK HERIN PRIYONO DALAM KARYA HEBATNYA




Kamiluddin Azis
Diskusi Kepenulisan bersama Bapak Herin Priyono segera dimulai.
Tema : MEMAHAMI PERSENTUHAN DUNIA KEPENGARANGAN & JURNALISTIK: Sebuah Peluang Idealisme yang Profitable
Mohon sahabat yang akan mengikuti diskusi ini, konfirmasi kehadiran di komentar ya.
Silakan mention juga sahabat lain agar diskusi ini menjadi hangat dan seru. Penuh inspirasi untuk kemajuan karya kita.
Ocha Thalib, Yulia S. Lumika Lynch, dan Atika Nur Sabrina menyukai ini.

Nina Rahayu Nadea Hadir
20 Oktober pukul 19:51 · Suka

Nina Rahayu Nadea Ngak bisa mention, OL di HP
20 Oktober pukul 19:51 · Suka

Yulia S. Lumika Lynch Hadir...
20 Oktober pukul 19:57 · Suka

Kamiluddin Azis Sip.. Kita masih menunggu kehadiran pak Herin Priyono ya, barusan sms saya sudah siap kok. semoga jaringan tidak lelet
20 Oktober pukul 20:00 · Suka

Kamiluddin Azis sambil mention aja ya, Ceu Sariak Layung, KangPanji Pratama, Bang Petra Shandi Mbak Nimas Kinanthi Mas Eric Keroncong Protol Dik Andrew Rey Navara juga...
20 Oktober pukul 20:01 · Suka

Herin Priyono MEMAHAMI PERSENTUHAN DUNIA KEPENGARANGAN & JURNALISTIK: Sebuah Peluang Idealisme yang Profitable,

saya ingin membuka diskusi ini dengan point "persentuhannya" dulu. Inti persentuhan itu (1) Dunia Kepenulisan adalah dunia "opini", di mana para penulisnya bebas mengekspresikan perspektif pribadinya, (2) dalam hal responnya terhadap keadaan masyarakatnya, penulis berada di kedalaman yang signifikan (tingkat kepedihannya), dan ini berdampak pada "energi" tulisannya dalam menggerakan pembacanya. Contoh solidaritas koin Prita yang digerakkan oleh diskusi di tweeter/facebook.

Di sebaliknya, jurnalistik --adalah dunia kepenulisan juga-- tetapi di sini (wartawannya) (1) dibatasi oleh FAKTA. wartawan harus bicara dengan DATA dan FAKTA, haram beropini, (2) Dalam hal respon, wartawan berada di "kubangan" kepedihan yang lebih kompleks, jika tidak hati-hati, wartawan akan "terprovokasi" membangun opini. Inilah yang terjadi sekarang.

Ketika muncul era citizen jurnalisme (jurnalisme warga), muncul "berita opini" yang luar biasa. Muncul berita yang tak jelas, opini atau fakta, memang ini disukai, tetapi mengkhawatirkannya, ini bisa jatuh ke JURNALISME GHIBAH DAN FITNAH.

Saatnya, para penulis, memanfaatkan kesempatan dengan terbukanya era citizen journalism dengan menekuni disiplin JURNALISTIK DAN KODE ETIKNYA. Era inin membuka banyak "peluang" baru bagi para penulis untuk menjadi GURU BANGSA, pengabdian tanpa pamrih, tapi sudah mulai banyak juga yang memanfaatkan era jurnalisme warga untuk kepentingan kepentingan yang rendah.

Inilah diskusi kita malam ini.

Sebelum bertanya, berikanlah pandangan pribadi Anda (opini), nanti --sebagai nara sumber jurnalistik-- saya akan menambahkan aspek data dan fakta dalam perspektif jurnalistik.

Semoga Allah memudahkan segala sesuatunya, dan menerima ini sebagai ibadah
20 Oktober pukul 20:02 · Batal Suka · 3

Andrew Rey Navara CC :
mas/mbk RM Prast Respati Zenar Ali Sakit Wirasatriaji, Rosanthy Sari,D'perindu Queen, De Lizta, Nurfath Chairunnisa...
20 Oktober pukul 20:04 · Batal Suka · 3

Nimas Kinanthi hadir ...
20 Oktober pukul 20:06 · Suka

Kamiluddin Azis Wah serem juga ya mendengar istilah 'Jurnalisme Ghibah dan Fitnah' itu. Terima kasih Pak atas pembukaannya. Saya dan juga baru ngeh ya, memang trend 'jurnalisme warga' itu pada awalnya sangat membantu dalam menyampaikan informasi ke masyarakat.Buktinya masyarakat jadi banyak tahu keadaan korban bencana misalnya dengan bantuan informasi dari warga yang nota bene bukanlah dari kalangan jurnalis. tetapi ya itu tadi benar sekali bahwa banyak yang memandaatkan kesempatan ini untuk kepentingan yang kurang baik. Silakan sahabat Inspirasi-ku jika ada yang mau bertanya.
20 Oktober pukul 20:07 · Suka

Kamiluddin Azis Pak Herin Priyono kita diskusinya di wall ini saja ya Pak,
20 Oktober pukul 20:10 · Suka

Herin Priyono hehehe...gaptek juga jebul ya diriku
20 Oktober pukul 20:12 · Batal Suka · 1

Kamiluddin Azis Lnjut Pak...
20 Oktober pukul 20:15 · Suka

Herin Priyono Betul Kamiluddin, ini tantangan besar kita sekarang. Belum selesai urusan yang satu datang dampak lainnya. Negeri ini bakal disibukan oleh SAMPAH-SAMPAH DAMPAK INFORMASI SAMPAH, tidak hanya dampaf junk-food saja. Dari makanan perut, makanan jiwa, negeri ini banjir bandang sampah. Para penulis harus bermigrasi ke jurnalistik, minimal ke citizen jurnalism
20 Oktober pukul 20:16 · Batal Suka · 1

Andrew Rey Navara mas / mbak : Langga Gustanto II, Aldy Istanzia Wiguna Marlyn SaimaruChrist BlueAngel.
20 Oktober pukul 20:18 · Suka

Nina Rahayu Nadea Maaf nanya. Sebagai jurnalis, pastinya terbantu dong dengan karya yang dikirim media. Pertanyaanya apakah setiap karya yang dikirim selalu dimuat? Bagaimana pengalaman bapak?
20 Oktober pukul 20:22 · Suka

Kamiluddin Azis Pak Herin, sebetulnya, ada tidak sih Pak, persyaratan minimal atau yg paling standar untuk menjadi seorang jurnalisme warga, terutama yang benar2 awam dan buta tentang dunia menulis/media/pemberitaan
20 Oktober pukul 20:26 · Suka · 1

Herin Priyono ada banyak keuntungan para penulis menguasai disiplin jurnalistik, yaitu lebih peduli dengan fakta, lebih peduli dengan "daya tarik" tulisannya (melalui disiplin LEAD), lebih peduli struktur tulisannya (hemat kata, tak berputar-putar, runtut, langsung pada masalah, dsbnya), lebih peduli akan data lapangan/investigasi, sehingga tulisannya lebih hidup. Sebab, pada hakekatnya setiap wartawan senior pasti pernah melalui tahap penulis, tapi penulis senior --jika tak menyentuh jurnalistik-- sampai tua senangnya beropini terus. Opini tanpa data dan fakta, bisa seperti "orang gua" di surat al-Kafi itu, duitnya tak laku di pasar
20 Oktober pukul 20:27 · Suka

Yulia S. Lumika Lynch Saya pernah menulis profil untuk majalah, ketika kita memasukan opini kt ttg orang tsb, apakah bisa masuk opini fitnah juga? Tapi sy selalu mengirimkan draft kepada nara sumber utk koreksi, bagaimana menurut bapak?
20 Oktober pukul 20:29 · Batal Suka · 2

Panji Pratama Bang, bagaimana menurut abang mengenai konsep jurnalisme konfrontasi? Beberapa media memakai kilah "double cover sides" justru untuk mengadu domba. Katakanlah (maaf) manajemen reportase tv one, yang saya pikir merancukan kode etik ini. Alhasil yang kita peroleh adalah adu persepsi yang tinggi subjektivitas?
20 Oktober pukul 20:33 melalui seluler · Batal Suka · 2

Herin Priyono Buat YULIA, dalam praksis jurnalistik, itu namanya "teori konfirmasi" hehehe...adakalanya nara sumber lupa, heng, lalu kita membantu memformulasikan statemen. Apabila narasumber setuju (seringkali sangat senang), ya kita kutip. Eh, dianggap sebagai kutipannya. Kemudian soal minta dikoreksikan, sebenarnya secara kelembagaan tadi baik. Hormati lembaga redaksi kita. Tapi jika pertemenan dengan nara sumber sudah bagus --yakin dia takkan melecehkan lembagamu-- boleh saja. Terlebih untuk urusan rahasia negara, misal liputan Instalasi nuklir atau instalasi militer. Demi keamanan semua boleh. Tapi jangan selalu begitu
20 Oktober pukul 20:35 · Batal Suka · 2

Herin Priyono Buat PANJI, prinsip coverbusyet, eh double ini sebenarnya baik. Prinsipnya coverboth side ini mewawancarai orang yang baka kena getah pemberitaan, nakh yang satunya itu sosok yang mau kena getah bukan. Dalam keadaan polemik, tujuan adu domba kelihatan kok. Tetapi tergantung tujuannya juga, dalam proses debat diruncingkan untuk menemukan masalah atau diruncingkan untuk DIRUNCINGKAN apinya, demi rating, itu yang merupakan kejahatan kemanusiaan menurutku hehehe
20 Oktober pukul 20:39 · Suka

Kamiluddin Azis Mbak Oktavia Neny dan Pak Irawan Subagjadiskusinya di wall ini ya ... trims
20 Oktober pukul 20:45 · Suka

Kamiluddin Azis Mbak Mitha Juniar, Mas Dian Ahmad Wibowo,Wahyu Susanto barangkali mau bergabung diskusi, yok, ini ilmunya mantep kali...
20 Oktober pukul 20:49 · Suka

Herin Priyono Buat OKTAVIA, kalau tak salah tadi pertanyaan di luar boks. yang dimaksudkan OPINI itu, pendapat pribadi. Berita opini adalah penulisan BERITA tetapi tanpa jelas sumber beritanya.
20 Oktober pukul 20:49 · Batal Suka · 2

Kamiluddin Azis Bu Ririen Narsisabiz Pashaholic, biasanya full tanya kalo ada diskusi ini, seru Bu...
20 Oktober pukul 20:50 · Suka

Andrew Rey Navara Pak, kan saya membaca diatas bahwa :
"Dunia Kepenulisan adalah dunia "opini", di mana para penulisnya bebas mengekspresikan perspektif pribadinya,"

Nah saya pernah menemui ada salah satu artikel. Ada mereka yang penulis (blogger) tersandung masalah (Masalah hukum dan mereka di masukkan di sel. tahanan). Karena tulisan mereka. Dan juga ada beberapa jurnalistik yang terkenal, mereka hilang entah kemana.

Apakah ada hukum yang mengikat penulis mengeluarkan uneg2-uneg dari dirnya sendiri dan perwakilan orang lain, pak. ?
20 Oktober pukul 20:52 · Telah disunting · Batal Suka · 1

Kamiluddin Azis Opini, beda mungkin dengan Esai ya Pak Herin Priyono, mungkin Mbak Oktavia Neny atau sahabat lain ada juga yg bertanya seperti itu.
20 Oktober pukul 20:53 · Suka

Irawan Subagja siap kang nyimak aja dulu tuk semntara buat saya  semngat !!!
20 Oktober pukul 20:54 · Batal Suka · 2

Kamiluddin Azis Pak Herin, untuk menjadi jurnalis sejati itu kan pastinya dibutuhkan kejujuran, karena tugas utamanya ialah menyampaikan fakta dan kebenaran. Apakah di negara kita, sudah bisa dikatakan semuanya berjalan sesuai dengan koridor itu, atau kasarnya , wartawan dan medianya sudah bisa dibilang JUJUR dan AMANAH?
20 Oktober pukul 20:54 · Suka

Ririen Narsisabiz Pashaholic pembahasannya berat tentang jurnalis kurang ngerti. jadi nyimak aja
20 Oktober pukul 20:54 melalui seluler · Suka

Irawan Subagja untuk orang awam seperti saya perlu memberi batasan antara aktifitas mengarang dan jurnalistik.. mohon pencerahan 2 hal tersebut titik beratnya dimana? mksih
20 Oktober pukul 20:56 · Batal Suka · 1

Kamiluddin Azis tumben Bu Ririen Narsisabiz Pashaholic hehe... tapi ini perlu juga lho Bu, untuk menambah wawasan nanti siapa tahu tokoh novel Bu Ririen itu ada yg jurnalis, hehe... sippp, kita lanjut PakHerin Priyono
20 Oktober pukul 20:56 · Suka

Herin Priyono ANDREW, saya butuh penjelasan bloger "tersandung masalah" itu dengan siapa dan karena tulisan apa? Kalau tulisannya (berdampak negatip pada orang/lembaga) tanpa data, memang dia bisa kena pasal pencemaran nama baik. kalau Wartawan duculik dianiaya (seperti kasus Udin, Bernas, di Yogya) itu memang salah satu resiko profesi, ketemu orang/birokrasi bar-bar dan belum tuntas sampai sekarang. Itulah perlunya pembelajaran ini, para penulis ngerti dunia jurnaistik.
20 Oktober pukul 21:01 · Batal Suka · 1

Andrew Rey Navara Saya dulu peenha membacanya pak melaui internet.
Nah artikelnya saya lupa pak. Yang tentang blogger.

Jadi memang itu adalah salah satu resiko yang wajib diterima oleh jurnalistik yah pak ?
20 Oktober pukul 21:05 · Suka

Kamiluddin Azis Mungkin yg dimaksud Andrew itu berita tentang blogger negara tetangga yg kedapatan memposting info yg berbau sara Pak, yang kebetulan di negara itu ketentuan perundang-undangan pers-nya sangat ketat. Tapi sekalian bertanya juga saya Pak, di negara kita aturannya sudah sejauh itu belum sih Pak, bahwa apa-apa yang ditulis blogger itu dipantau dengan sungguh-sungguh jangan sampai ada isue yang justru meresahkan publik.
20 Oktober pukul 21:06 · Suka · 1

Kamiluddin Azis Aldy Istanzia Wiguna met malam.... silakan bergabung ya...
20 Oktober pukul 21:08 · Suka

Herin Priyono OPINI, ESAY, ini sama teman-teman. Opini itu pendapat pribadi. Esay, itu jenis tulisannya (karangan bebas), disamping ada puisi, atau novel. Semuanya perspektif pribadi. yang membedakan dengan BERITA adalah, berita harus jelas Nara Sumber dan konteknya...Lihat Selengkapnya
20 Oktober pukul 21:09 · Batal Suka · 1

Oktavia Neny dalam artikel/opini yg dimuat di media masa, sering kali ada nama nick di akhir bacaan. nah, nama nick itu sering kali mmakai nama yg bukan nama asli si penulis. hal seperti itu apa alasannya dan apakah hal sperti itu jg trmasuk dalam mlindungi kode etik? trimz,
20 Oktober pukul 21:11 melalui seluler · Batal Suka · 1

Aldy Istanzia Wiguna oh iya. selamat malam juga. cuma mau nanya ini nih pak. tapi, maaf kalau tidak nyambung. boleh meminta pendapat bapak terkait PUISI ESAY dan juga PUISI JURNALIS. nah, kira-kira pandangan bapak terkait dua jenis puisi yang akrab dengan dunia bapak itu bagaimana ya. nuhun ulemanna kang Kamiluddin Azis
20 Oktober pukul 21:12 · Batal Suka · 1

Herin Priyono buat KAMAL, apakah wartawan sudah pada relnya? Menurut Anda gimana? Jurnalisme teve banyak yang tidak menghargai martabat nara sumber. Nara sumber dieksploitasi untuk tujuan rating, kontroversi, hasilnya apa? Dunia politik, kebudayaan dan pendidikan yang carut marut sekarang, itu sebagian akibat dari 'KEKUATAN PENDIDIKAN" (wartawan, guru, penulis, pengarang) tidak berjalan sebagaimana mestinya.
20 Oktober pukul 21:13 · Batal Suka · 3

Kamiluddin Azis Hebat Aldy Istanzia Wiguna selalu terkait dengan dunia puisi.. tapi saya juga penasaran dengan jawaban atas pertanyaan itu.
20 Oktober pukul 21:13 · Suka

Aldy Istanzia Wiguna hahahaha, iya dong. soalnya agak bingung juga sih ketika banyak penyair menolak kedua jenis puisi di atas. nah, mungkin pak Herin bisa menjelaskan keterkaitan dunianya pak herin dengan kedua jenis puisi di atas. kalau tidak salah pelopor puisi esai itu Denny JA founder Indonesia Tanpa Dikriminasi sama LSI. terus kalau pelopor puisi jurnalis itu Linda Christanty, kalau tidak salah. mohon pencerahannya ya pak.
20 Oktober pukul 21:16 · Suka

Kamiluddin Azis iya Pak, kadang greget kalo liat acara talk show/wawancara yg katanya ekslusif tapi sangat menyudutkan nara sumber, jurnalis ingin terlihat sangat pintar, dan agar acara itu tampak sangat berkelas... walah... prihatin deh... mengenai kasus suap wartawa...Lihat Selengkapnya
20 Oktober pukul 21:17 · Suka

Nenny Makmun hadir menyimak terima kasih mas Kamiluddin Azis  duh berat ya temanya
20 Oktober pukul 21:21 · Suka

Kamiluddin Azis Pak Herin Priyono masih ditunggu pencerahannya. Ini diskusi makin hangat atau panas ya? sampai2 di Yogya katanya mati lampu, hehe nggak nyambung ya, dan Pak Herin sedang berusaha menyambung koneksi melalui perangkat lain yg ada batereinya. Tak terasa ya satu jam setengah diskusi ini sdh berjalan, semoga Pak Herin berkenan menemani kita sampai jam 9 malam nanti ya. Ayo bertanya lagi sambil menunggu ...
20 Oktober pukul 21:29 · Suka

Yulia S. Lumika Lynch Maaf, Pak Herin. Wartawan Jurnalistik dan paparazi, bagaimana pendapat bpk? Karena sekarang saja banyak wartawan yg mengatasnamakan jurnalisme, tapi sebetulnya hanya mirip spt 'pembunuh bayaran' alias paparazi...
20 Oktober pukul 21:31 · Suka

Kamiluddin Azis Sementara pertanyaannya ditampung dulu ya sahabat semua, Pak Herin Priyono sedang kesulitan mendapatkan batere lap topnya... nanti beliau pasti jawab. Sebenarnya saya juga penasaran di mana letak profitabilitas jurnalistik jika untuk menjadi jurnalistik sejati yg jujur amanah itu tantangan/godaannya itu gede banget. Juga apakah jurnalis sejati itu hanya cocok untuk mereka yang memiliki idealisme tinggi? Duh... kenapa mati lampu ya... hehe
20 Oktober pukul 21:36 · Suka

Kamiluddin Azis Nah... Alhamdulillah nyala lagi, hihi udah kaya petugas PLN aja ini saya... lanjut ya Pak, dan sahabat semua... kita simak jawaban yg bernas dr guru kita...
20 Oktober pukul 21:37 · Suka

Kamiluddin Azis selamat malam, mau nyapa sahabat yg mungkin sedang OL, Mbak Nafis Ulya, Mbak Nyi Penengah Dewanti, KangYandi Setiandi Mas Tri C Fakhri Mbak Novela Nian
20 Oktober pukul 21:40 · Suka

Herin Priyono YULIA, walau kerja paparazi juga berkedok jurnalistik, sebenarnya itu cerminan perkembangan jurnalistik pada masyarakat yang sedang "sakit" berat. Itu sebabnya, di web syarafpenulisan.com ada tagline JURNALISME PENCERAHAN/aufklarung. Jurnalisme harus b...Lihat Selengkapnya
20 Oktober pukul 21:44 · Batal Suka · 1

Irawan Subagja semnagt kang aziz  walo lampu padam
20 Oktober pukul 21:44 · Batal Suka · 1


Tri C Fakhri Pak Herin mau tanya. Maaf sebelumnya. Jurnalis pastinya mempunyai kode etik, bukan? Untuk menyampaikan informasi sesuai yang terjadi di lapangan. Akan tetapi-mungkin-dari pihak lembaga-mungkin agar laku-ingin agar informasi yang didapat diberi sedikit bumbu. Nah, para jurnalis apakah tetap menyampaikan sesuai keadaan asli ataukah diberi bumbu seperti yang diperintahkan atasan?
20 Oktober pukul 21:47 melalui seluler · Batal Suka · 1

Yulia S. Lumika Lynch ≈iўªãª≈ , Pak. Rasanya agak sedih juga menyadari hal itu. Jurnalisme yg harusnya mengungkap sesuatu yg benar bisa jadi hanya untuk kebutuhan publik yg kadang tidak mendidik juga pd akhirnya. Keluar dr kode etik jurnalistik, keluar dr AJI awal ya...
20 Oktober pukul 21:48 · Batal Suka · 1

Yulia S. Lumika Lynch ≈iўªãª≈, KKku... Dah aku buka.
20 Oktober pukul 21:53 · Suka

Herin Priyono Hehehe...Kamal, ada beberapa jawaban yang sudah kuketik kok hilang/tak tertampilkan kenapa ya?
20 Oktober pukul 21:59 · Suka · 1

Kamiluddin Azis kenapa ya Pak, mungkin nggak ke save Pak, saya nggak ada edit/delete kok. Bisa tolong diulang, Pak?
20 Oktober pukul 22:01 · Suka · 1

Herin Priyono Aldy, mengenai puisi jurnalistik, ini perkembangan baru, bisa saja hehehehe....tapi tetap harus mengacu fakta, bukan opini. Misal, sebuah rubrik politik, mengutip statemen politikus yang kritis-puitis, lalu dimuat hanya sepotong di dalam boks yang meny...Lihat Selengkapnya
20 Oktober pukul 22:04 · Batal Suka · 1

Kamiluddin Azis Aldy Istanzia Wiguna semoga terjawab ya... ngungkapin fakta melalui media puisi esai, biar manis Dy...
20 Oktober pukul 22:05 · Suka

Kamiluddin Azis Pak Herin, mohon maaf ada pertanyaan saya yg belum terjawab, plus pertanyaan dari Tri C Fakhri
20 Oktober pukul 22:06 · Suka

Kamiluddin Azis Pertanyaan saya yang ini Pak : Sebenarnya saya juga penasaran di mana letak profitabilitas jurnalistik jika untuk menjadi jurnalistik sejati yg jujur amanah itu tantangan/godaannya itu gede banget. Juga apakah jurnalis sejati itu hanya cocok untuk mereka yang memiliki idealisme tinggi? sekalian mungkin dibuatkan penutup dan kesimpulan untuk diskusi kita malam ini Pak, karena waktu juga leat dari jam 9. Monggo Pak silakan
20 Oktober pukul 22:08 · Suka

Herin Priyono OKTAVIA, nama samaran dalam Opini dan Berita dibolehkan. Dalam Opini/Novel itu lisensi puitika pengarang. Dalam berita untuk keamanan wartawannya. Kayaknya itu kebijakan redaksi saja, tidak dibahas dalam kode etik.
20 Oktober pukul 22:08 · Suka

Irawan Subagja maaf pa herin numpang tanya kalo persinggungan jurnalistik dan mengarang di buku dvinci code menurut bapa apa?? efek dari buku itu dulu cukup hebat.
20 Oktober pukul 22:11 · Batal Suka · 1

Tri C Fakhri Makasih bang Azis. Masih menunggu.
20 Oktober pukul 22:12 melalui seluler · Batal Suka · 1

Herin Priyono Ok. Aming. Profitabelitas Jurnalistik, dapat kita lihat dari fungsi pers sebagai kontrol sosial. Maka kalau wartawannya idealis kontrol sosialnya bagus. Tapi idealis sejati dalam pers --memang harus gerilya dulu Aming-- koran tempat kita bekerja juga tak sedikit yang merupakan tangan kapitalisme dan sangat partisan. Aku ada Tamu, wis yo
20 Oktober pukul 22:15 · Batal Suka · 1

Kamiluddin Azis Gerilya ya Pak, jd inget zaman perang dulu ya Pak... hehe untuk merdeka memang hrs seperti itu. nah itu Pak satu lagi, soal data faktual yg dikaitkan dengan dunia kepenulisan secara umum, agak nyambung dengan pertanyaan pak Irawan Subagja dewasa ini banyak sekali kan Pak, novel Epos, yg berbasis sejarah, atau mengangkat kisah yg sering menjadi pertanyaan publim tentang kebenarannya, lalu dibuatlah versi novelnya oleh para penulis, nah ini fenomena ini bagaimana Pak, kaitannya dg data faktual jurnalistik itu bagaimana, apakah datanya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya mengingat pada akhirnya banyak juga novel sejenis dg versi cerita yg agak berbeda...
20 Oktober pukul 22:22 · Suka

Irawan Subagja betul kang azis sampling saya yg tdai saya tanyakan itu maksdunya kesana lho.. adakah yang siap menjadi penulis seperti tuh???
20 Oktober pukul 22:27 · Batal Suka · 1

Kamiluddin Azis Baik sahabat semua, karena memang waktu yang sudah semakin larut, kita sudahi saja diskusi ini. Semoga setelah ini Pak Herin Priyono bisa menyusulkan jawaban untuk pertanyaan yg masih belum terjawab serta memberikan kesimpulan dan penutupan. Semoga diskusi ini ada manfaatnya untuk kita semua, untuk kemajuan dunia kepenulisan dan jurnalisme saat ini. Terima kasih banyak untuk Pak De, Pak Guru baru saya yang humble dan baik hati, sekali kenal langsung dekat dan saya yakin banyak yang senang berguru kepada Bapak. Terima kasih semoga selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan, kesuksesan dan cinta dari semua orang. Terima kasih juga buat sahabat Inspirasi-ku yang sudah berpartisipasi dalam diskusi malam ini. Kita siapkan diskusi-diskusi menarik lainnya minggu yang akan datang. Wassalam. Selamat malam ya.... sukses untuk semua...
20 Oktober pukul 22:30 · Suka · 2

Irawan Subagja amin
20 Oktober pukul 22:34 · Batal Suka · 1

Tri C Fakhri ^^
20 Oktober pukul 22:39 melalui seluler · Suka

Eric Keroncong Protol terlambattttttttttt lagii
20 Oktober pukul 23:18 · Suka

D'perindu Queen Terimakasih..alhamdulillah..saya nyimak dulu hehe
20 Oktober pukul 23:41 melalui seluler · Suka

Herin Priyono IRAWAN, tentang novel/fil epos sejarah. Secara umum, penulisan sejarah selalu merupakan "produk politik" waktu dilahirkannya. Contohnya film G30S PKI. Berapa lama dia menyembunyikan kebohongan? Sekarang --seiring perubahan politik-- film ini jadi bulan-bulanan (bukan dari seni filmnya, ya), tetapi film G30S PKI sebagai produk sejarah yang tak bisa bersih dari campur tangan politik penguasa. Kedua, sejarah tidak selalu "tunggal" tapi selalu banyak versi, madzab, dan sejarah memang harus selalu direinterpretasikan kembali. Ini adalah "lahan perawan" untuk penulis. Tapi tidak semua mampu memasuki wilayah ini, baik karena didesak kebutuhan dapur, bacaan/referensi, dan menulis sejarah tidak bisa main potret begitu saja. Ini yang belum didukung oleh keadaan di negeri ini. Kata orang, "ora cucuk" biaya dan hasil tak sepadan.
21 Oktober pukul 1:49 · Suka · 1

Lomba Novel #HomeSweetHome

Untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, terkadang kita dihadapkan pada pilihan untuk melangkah dan meninggalkan apa yang selama ini kita miliki. Kita memang tidak pernah tahu apa yang akan kita hadapi nanti, tapi jika tetap bertahan, maka hidup akan selalu sama entah sampai kapan.
Merantau dan traveling adalah pilihan yang sudah sangat lazim untuk menemukan sesuatu yang berbeda. Kita tidak pernah tahu seberapa lama kita akan merantau atau sejauh apa kita akan menghabiskan waktu untuk traveling.

Setelah pergi begitu lama dan begitu jauh, akan ada saat kita merindukan rumah. And it’s time to come back home. Bertemu kembali dengan orang-orang yang kita rindukan, melihat rumah tempat kita dibesarkan, menghirup udara yang tidak lagi sama seperti sekian waktu lalu.
Nah, tema “kembali” inilah yang akan diangkat dalam lomba novel Home Sweet Home. Silakan menonjolkan 2 poin di sini, yaitu kehidupan saat berada di tempat yang baru selama sekian waktu hingga proses hingga mengambil keputusan untuk menengok atau bahkan kembali ke kampung halaman. Apa hal-hal yang menarik yang dicari di kampung halaman dan tidak ditemui di tempat yang baru. Silakan ditampilkan dalam konflik yang kuat. Penceritaannya boleh menggunakan metode flash back. Kisah ini boleh berdasarkan kisah nyata atau sepenuhnya fiktif.

Lomba akan dibuka mulai 1 Oktober 2013 dan ditutup 31 Maret 2014, pukul 14.00 WIB.

Ketentuan peserta:
Peserta berusia minimal 18 tahun dan sudah mendapatkan izin orang tua untuk melaksanakan ibadah umrah, berangkat dari Yogyakarta. (info tanggal dan bulan pemberangkatan menyusul).
Ketentuan naskah:
  • Ketebalan naskah 200-250 hlm MS Word, font Times New Roman, size 12,  spasi 2, justified/rata kiri dan kanan, margin 4cm (atas/kiri) 3cm (kanan/bawah), ukuran kertas A4
  • Segmen remaja dan dewasa
  • Naskah adalah karya perseorangan
  • Gunakan gaya bahasa yang ringan
  • Menonjolkan detail karakter/penokohan dengan spesifik, misalnya karakter seseorang dari daerah tertentu, atau ciri yang dikreasikan sendiri hingga pembaca bisa membayangkan tokohnya seperti apa.
  • Setting cerita bebas dan tidak lepas dari detail yang unik
  • Memberikan pesan moral (boleh tersirat/tersurat)
  • Silakan mengirimkan naskah via email: hshdivapress@gmail.com dengan format judul/subject: Nama penulis (judul naskah)
  • Format nama file: Nama penulis (judul naskah)
  • Bodi email dibiarkan kosong saja.
  • Lengkapi dengan biodata narasi, no. HP, twitter, facebook, blog, dan sinopsis lengkap keseluruhan cerita (terpisah dari naskah novel)
  • Setiap peserta silakan LIKE fanpage: Penerbit DIVA Press & de TEENS atau follow @divapress01 & @de_teens
Hadiah
Juara 1:
  • 1 paket umrah (Hadiah ini bisa diwakilkan kepada kerabat dekat dan tidak bisa diuangkan. Paspor dan uang saku ditanggung penerbit)
  • 2 kontrak penerbitan (1 karya yang diikutkan lomba ini dan 1 karya layak terbit lainnya)
  • Sertifikat keikutsertaan
  • Sampel buku
5 nominator masing-masing akan mendapatkan:
  • 2 kontrak penerbitan (1 karya yang diikutkan lomba ini dan 1 karya layak terbit lainnya)
  • Sertifikat keikutsertaan
  • Sampel buku
Lomba ini dipersembahkan oleh DIVA Press Group