ANGIN MAMMIRI




Oleh Niang Kuneng


Aku adalah perempuan angin. Sore itu, aku bersama teman-temanku yang juga angin, bercakap-cakap tentang cerita angin.
“Aku sudah menunggu lama disini. Apa kau sudah menyampaikan kepadanya?”
“Voicenote-[1]mu telah kusampaikan. Tak ada satu kata pun yang kuhilangkan.”
“Benarkah itu? Tapi kenapa ia belum membalasnya?”      
“Entahlah. Aku bersumpah. Aku telah menyampaikannya.”
“Aku percaya itu. Mungkin saja dia belum sempat mendengarkannya.”
            Temanku itu adalah angin jantan. Selalu kukirimi voicenote cinta melalui perantara. 
Aku tertegun, dan mulutku memulai berhikayat.
 Ingin rasanya menjadi angin betina yang mampu menyebar kedinginan.  Agar dia mampu merasakan suhuku. Sudah lama, lama sekali aku menderita karena kerinduanku padanya.
            Angin jantan meninggalkanku tanpa sesal. Indra penciumanku tak pernah lagi merasakan aromanya. Wahai angin jantan, menolehlah ke arahku kembali.
* * *
Aku dilahirkan menjadi  wanita penantian.
Buat mirat nafas, senada bukan nyanyian.
Cintalah, menuju nafas takkan kau telan.
Demi nafas, seujung dera  penghabisan.
Engganmu asin.
Fatamorgana, kalung-mengalun pelan.
Gurat nadi tak lagi dipalangi angan.
* * *.
Dialog dulu terputar kembali.
“Aku mau jadi angin. Aku tak sanggup menjadi ranting di pohon ayah lagi.”
“Tidak boleh. Kau akan dimurkai Tuhan, Nak”
“Aku tidak peduli. Pokoknya aku harus menjadi angin.”
“Jika kau memilih menjadi angin, kau akan menampung dosa yang lebih banyak.”
“Aku lelah menjadi ranting. Aku selalu terdiam kaku menyaksikan aksi-aksi anak remaja di bawah naungan Ayah. Mereka selalu bermesraan. Tanpa ada rasa malu, padahal kelakuan mereka ada yang melihat. Terkadang juga ada ibu yang mengubur anaknya di bawah naungan ayah. Tanpa penyesalan sedikit pun.”
            “Meskipun begitu, kitalah pohon yang dipercayai Tuhan untuk menjaga makhluknya.”
“Tapi, aku selalu memendam rasa penyesalan karena perbuatan mereka. Pohonlah yang menanggung dosa. Aku harus jadi angin, Ayah.”
“Angin itu jahat, Nak.”

Itulah permintaanku. Dan, pohon itu ayahku. Akar itu Ibuku. Pohon yang menyelamatkan manusia, angin yang ingin menghancurkan manusia. Karena angin tak tahan melihat manusia yang terus-terusan berbuat dosa. Setiap detik aku berdoa kepadaNya untuk menjadi angin.
            Sampai akhirnya, pada suatu malam datanglah segerombolan angin yang  memutar-mutar ke badanku. Aku terjatuh kemudian menjadi debu. Setelah diangkat oleh segerombolan angin aku berubah menjadi partikel-partikel kecil semacam atom yg tak kasat mata. Aku yang dulunya ranting kini menjadi angin.

***
Aku wanita penghitung hujan.
Bukan penyimpan deran.
Coreng-moreng menyamun.
Deraianku tak kau pedulikan.
Elang ingin menjadi hablun.
Fitosanitasi yang kau inginkan.
Gait beralun-alun.
***
Sewindu kulewati dengan kesenyuman getirku. Tapi tak ada sosok yang membuatku berdiri. Mendekap. Menopang tubuh. Lemah dan tak berdaya. Kelam diantara kelamnya gulita malam.
            Angin yang syahdu. Menanti kedatangan kedinginan. Tertatih-tatih dan teratung-atung. Udara pria terhirup napas kikuk bernyawa. Menarik dan melepaskan. Selalu terhirup napas menelah-penelah. Menanti penantian yang bernanti. Pria yang selama ini adalah napas angin jantan.

            “Hei para angin betina. Rasa-rasanya ada manusia lagi yang menjadi angin. Dia angin jantan. Adakah yang ingin mendekatinya?”

            Udaraku terhempas, yang awalnya rendah menjadi tinggi. Setelah kudengar penuturan dari teman sesamaku. rasanya awan kembali menari-nari di badan. Ragaku terbentuk menjadi angin sepenuhnya. Kau kembali.
            “Antar aku ke arahnya.”
            “Baiklah.”
            Rasanya tak sabar ingin melihatmu. Aku yakin itu kau. Tak sabar anginku membentuk lingkaran di perutmu. Mendengar tutur katamu, dan merasakan aroma anginmu.
            “Itu dia, angin jantan yang kumaksud.”
            Pelepisku rasanya luntur. Awan menjauhi getar  anginku. Hancur lebur. Tak sesuai dengan harapan. Kau bukan angin jantanku. Desauku menjamur. Aku kembali seperti dulu. Menjadi wanita penantian dan penghitung hujan.
             “Kenapa? Kau tak tertarik dengannya?”
            “Tidak sama sekali.”
            “Kenapa?”
            “Dia bukan angin jantanku.”
            “Aku lelah mendengar perkataanmu. Hampir setiap hari aku mendengar kata itu. Seharusnya kau tak usah menjadi angin. Kembalilah ke asalmu. Menjadi ranting.”
***
Andai pahit menjadi angan.
Bisikannya ditetapkan.
Ceritamu terbias haluan.
Deraianmu kau lupakan.
Elok rupamu kusimpan.
 Firasat berpandangan.
Gurat batin terusik angin.
***
            Lalu, aku kembali mengurai lagi kisahku.
            Malam itu ada segorombolan angin membentuk kerucut dengan pusaran yang sangat dalam. Di pusaran yang paling bawah rasanya belum sempurna. Ada angin yang belum bergabung di situ.
Aku melihat ada angin yang menetap berdiam durja tidak melakukan tugasnya. Angin itu merenung di pohon ayahku. Mungkin ia takut menghancurkan rumah-rumah yang ada di sekitarnya.
Mulai dari situlah aku memperhatikan angin itu. Jauh lebih dekat dari sebelumnya. Ingin sekali menggerakkan rantingku untuk menyentuhnya. Tapi aku malu. Angin itu terlihat tampan. Aku suka dengannya. Ya! Dia angin jantan.

“Hei,”
Angin itu celingukan mencari arah suaraku.
“Aku ranting yang ada di sampingmu.”
“Iya, ada apa?” jawabnya datar
“Kenapa kau tak bergabung dengan segerombolan angin itu?”
“Aku tak suka menghancurkan rumah. Apalagi menyakiti manusia.”
            “Kalau begitu, aku juga ingin menjadi angin. Bukan angin yang jahat, tapi angin yang baik. Sama sepertimu.”
            “Syukurlah, nantinya aku mempunyai teman. Aku tunggu kamu dipelantikan angin yah.”

Memoriku tak akan penuh oleh kata-katamu. Otakku hanya memutar dialog antara kita dulu. Hanya kata-katamu yang tersimpan. Hampir setiap hari aku mengeja kata per katamu.
            Tapi lidahmu terkujur keluar. Ludah yang telah keluar kau jilati dengan lahapnya. Semua hanya omongan belaka.
            Awan bergerak di kedalaman nestapa. Tak hentinya aku menyimpan air mata kerinduan. Ingin kuminumkan jika kau kembali, namun aku berpikir lain. Tak usahlah kau meminum kerinduanku. Biar kusimpan saja dan menjadikan sejarah antara kita berdua. Tapi ... kau tak kembali juga.
***
“Hei...,” katanya dengan nafas tak beraturan
“Ada apa? Kau membawa berita baru?”
“Iya. Voicenotemu  ternyata tak pernah sampai kepadanya.
“Benarkah itu?”
“Maaf, ternyata angin jantan yang kamu maksud sudah tak menjadi angin lagi.”
“Lalu dia kemana?”
“Entahlah. Tenang, masih banyak angin jantan lainnya. Tak usah memasang suhu yang suram.”
“Rasa-rasanya aku tak kuat lagi. Aku ingin bertemu ayah dan ibuku. Aku ingin menangis dan meminta maaf padanya.”
“Kau tak bisa ke sana, kau hanya bisa memandangnya dari langit dan mengirimkannya voicenote.”
***
“Dia telah menjadi manusia.”
Ah? Benarkah itu? Dari mana kau tahu?”
“Angin yang telah menjadi manusia masih tampak seperti angin. Di atas kepalanya ada awan yang menari-nari. Lihat ke bawah. Di bawah pohon itu. Angin jantanmu ada di sana bersama gadis lain.”

            Mataku terbelalat, rasanya mulut dan pikiranku tak menyatu. Suhu dan desauku tak seperti dulu lagi. Aku tak percaya, jika kau berada di naungan ayahku. Kau bersandar bersama gadis lain. Kau bukan angin jantanku lagi, tapi kau manusia yang tak tahu malu.
            Aku menyimpan air mata kerinduan dan kepedihan di wadahku sendiri. Jika kau kembali akan kuminumkan kau. Aku ingin kau merasakan betapa menderitanya aku dalam kerinduan yang tak kunjung kau balas.

Aku menjilat kembali ludahku, seperti kau yang menjilat ludahmu juga….
***

                                                                                      




TENTANG PENULIS

Nining Angreani. Nama pena, Niang Kuneng. Dilahirkan di kota Pinrang tanggal 29 Juli 1998. Bertempat tinggal di Jl. Ahmad Yani, Pinrang, Sulawesi Selatan. Penulis tengah menempuh pendidikan di SMAN 1 Pinrang. Aktif di organisasi KIR “Serangkai”. Salah satu karyanya telah bergabung di antologi cerpen. Pencinta biru ini dapat dihubungi di: 085217226829 , Alamat e-mail : Niningangreani@yahoo.co.id . Facebook: Nining Angreani, Twitter: @maudy_ninink





[1] Rekaman suara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar