Sebuah mini story berhasil disusun setelah beberapa sahabat saling melempar rangkaian prosa mini kemarin malam. Berikut hasil kolaborasinya .....
RINAI
RINDU
Aku tersungkur ke dalam
jurang penyesalan yang curam. Tapi di sana tidak bisa kutebus semua salahku.
Engkau tak akan pernah kembali.
Malam merambat perlahan. Denting piano itu menghanyutkanku
pada buai cinta yang kau nyanyikan. Senandung hatiku menyambut riuh cintamu.
Tapi kembali, kenyataan tidak akan seindah khayalan. Kau, bukan untuk kumiliki.
“Bukan.Kau sudah menjadi miliknya. Kembalilah pada
perempuan yang tengah mengandung benih cintamu di rahimnya,” meski kutahu kau
datang demi meyakinkan bahwa cinta kita masih bersemi. Cinta seorang sahabat,
cinta seorang kekasih yang tak sampai.
Aku pun kembali menatap langit. Di sana tergambar jelas
goresan wajahmu yang sendu. Kedip pilu matamu, dan senyum lugu terakhir yang
meriak lengkung bibirmu, tak mampu kutepis meski selalu kau desak aku untuk
melupakannya. Sedang apa di sana sahabat... apakah kau merasakan rinai rindu
dan gerimis resah laraku?
-o0o-
Aku
terus termangu menghiasi taman kerinduan. Ketika bintang mulai hanyut oleh
cahaya rembulan, siluet itu mengayun menampar kedua pipiku. Oh..lamunan yang
merenda kebisuan mulai gugup. Lalu aku berlari pada lorong ingatan itu..kau
masih satu dengan masa lalu itu.
“Aku hanya ingin kau tahu, bahwa
cinta ini masih sama, Dara.” Kau hempaskan semua sisa sesak yang menggumpal di
dada. Bertahun-tahun kau pendam hingga siksa membawamu kembali malam itu.
Dan aku, masih belum bisa menjawab
semua resahmu. Saat kedip kecewa tergambar di pelupuk matamu, aku tahu sesuatu
yang buruk akan menimpamu. Aku tahu. Rasa takut itu kembali menjalar. Kenangan
masa lalu kita.
Masa lalu? Ya, masa lalu itu. Masa
lalu yang pernah mempertemukan kita tanpa kita mau. Masa lalu yang kemudian
membuat kita sama-sama menikmatinya. Kebersamaan, tawa hingga gores air mata
yang pernah kita usap bersama-sama. Pun masa lalu yang akhirnya memaksa kita
untuk tersekat satu sama lain. Berlari, berpisah dan menahanmu jauh dariku.
“Dara, bisakah sekali saja
kauucapkan kata ‘cinta’ untukku?”
Kata cinta, seperti denting jemarimu
menari.
Duhai sahabat, gerak langkah ini terhenti
ketika syairmu menyapa. Bukan maksud hati agar kau melupakan kenangan kita, namun
rindu pun telah melilit jantung. Walau jauh di mata bathinku selalu merasakan
rinai rindu yang kau sebarkan hingga lara kau lontarkan. Di sini rindu ini membuncah.
Menyebar pada luasnya samudera dan birunya langit.
Dan aku harus mengingkari itu. Demi
dia. Dia yang tengah menantimu dengan pucuk-pucuk cinta ranumnya yang siap
merekahkan bunga bahagia.
Dengan lunglai kau pergi. Semua rasa
sudah kau lumat pasrah. Tetapi cinta tidak jua kau raih. Maafkan aku, sahabat. Jangan
kau simpan duka, karena aku rela membagi sejuta cita untukmu. Ambillah dan
buang duka itu! lupakan! Biarkan tanganku mengusap air dari hulu mata indah
itu, tepis lara. Ceritakan kisah terpedihmu dan aku kan mengambinya, agar tiada
lagi sakit lagi disana. Hingga tidurmu kan damai malam nanti.
-o0o-
Lepas malam itu, kau tertidur.
Bahkan akal sehatmu kau lenyapkan hanya dalam sekali kedip. Kau jelas meradang
dalam arwah cinta yang menggantung. Menguap, menjadi kabut malam yang hilang
ditelan kegelapan. Kenapa kau lakukan itu sahabatku? Kenapa kau rela mati demi
meraih cinta abadiku?
-o0o-
Aku rela mengiris nadi jika itu
sanggup membawamu kembali. Desis terakhir yang menembus ke relungku selalu
merambat dalam mimpi-mimpi burukku setiap malam. Seharusnya tidak kubiarkan kau
sendiri dalam lara, di tengah malam dengan derai siksa dan jeritan sakitmu.
Penyesalan tiada guna kini. Seharusnya kuteguk darahmu yang membanjir agar
jiwamu tetap hidup dalam ragaku. Maafkan setiap sesal yang tak mungkin bisa kurengkuh
kembali.
Tapi ternyata takdir berkata lain. Aku
tak bisa menyangkal takdir yang sudah digariskan Tuhan untuk kita. Tuhan telah
mempertemukan kita menjadi sahabat yang tak terlupakan, seperti itu juga Tuhan
memisahkan kita. Hanya lewat gerimis malam ini aku menitipkan salam rinduku
untukmu, aku menyesali semuanya. Masihkah bisa kutebus semua dosaku dimalam itu
dengan penyesalanku kini.
-o0o-
Awan
itu tersenyum.
Dirimu tersenyum, seolah tengah berbisik,
“Aku membawa cintamu melintas angkasa. Tapi kau, bukan untuk kusentuh. Dan aku
tetap lupa, bahwa kau telah menganggapnya usai tanpa pernah tahu aku masih
berharap kelanjutannya. Maka aku disini, termangu menatap bayangmu yang datang
bersama rinai hujan. Merayu dedaunan untuk luruh bersama angin. Mencari jawaban
atas pertanyaan yang tak pernah terucap. Membauimu di setiap helai sapuan
udara.
“Aku ingin kau di sini. Meminjam
bahuku untuk memetakan tangismu pada garis-garis jiwaku yang lunglai. Lalu
menatap teduh matamu. Aku ingin kau tahu, betapa hidup telah merampas
bahagiaku, tanpa pernah peduli bahwa sesungguhnya betapa rapuhnya aku. Lalu
mengabadikan hening kita yang terbunuh detak waktu. Setelahnya, naiklah ke atas
kereta. Hitung jajaran bintang yang tertinggal. Lalu kau mengulum harapku, menghempaskannya
sia-sia, sebab hujan diluar siap menampar kemungkinan-kemungkinan hidup dan
mati dalam waktu bersamaan.
“Tapi, dimana kau, Dara?”
-o0o-
Hujan
pun tak lagi iringi hari. Namun hati terlampau sepi. Mengiris. Kehadiran bukan
kehadiran saat senyummu sirna terbawa angin, hingga sendu merambahi segala rupa
di hadapanku. Tegarkan dirimu Sahabat, jika kau masih mampu merasakan kasih
ini.
Aku yakin, di sana kau rakit kata
dengan indah. Sang senja menjadi lagu-lagumu. Kau sebut satu persatu termiliki
senja. Sampai kapan kau merakit senja dengan malam sedangkan kau tahu perbedaan
senja dan malam, begitu pula aku dan masa lalumu. Walau rindu itu selalu ada
dan tak akan menghilang.
Sahabat, sadarkah engkau? walau
gerimis menghujani bumi ini tapi aku tak ingin kau seperti itu sahabat. Andaikan
aku dapat menjadi mataharimu, akan kuterangi harimu tanpa hujan yang menjadi
kelabu bagimu. Aku hanyalah manusia biasa yang hanya mampu menghiburmu apabila
kesepian bagiku sahabat. Hanya satu kesempatan dalam hidupku dapat melihat
senyummu bagai mimpi yang tak pernah hilang dari ingatan. Hanya senyummu yang
meluluhkan hati dan tawamu yang menyatukan jiwa. Hanya tangismu yang membuatku
teriris dan tak berdaya. Tersenyumlah bila kau mampu sampai aku tiada di sampingmu.
Atau ketika aku kembali bersamamu.
Saat rinai rindu ini menggelitik sepi.
Kolaborasi
sahabat Pustaka Inspirasiku, 21 Maret 2012
-oo0oo-
Asalnya seperti ini :
Kembali
menatap langit, di sana tergambar jelas goresan wajahmu yang sendu.
Kedip pilu matamu, dan senyum lugu terakhir yang meriak lengkung
bibirmu, tak mampu kutepis meski selalu kau desak aku untuk
melupakannya. Sedang apa di sana sahabat... apakah kau merasakan rinai
rindu dan gerimis resah laraku?
Lanjutin dong sobat, kalau hasilnya bagus, nanti saya post di Blog dan kamu bisa baca utuh hasil akhir yang tidak terduga.