PESERTA 'GACAK' TGL 15 MEI 2012 s/d 3 JUNI 2012

  • Ririen Narsisabiz Pashaholic
    Tertawa karenamu


    Hari Senin kemarin aku baru saja putus cinta. Terus diajak ke salon sama Joko, begitu memasuki salon.
    "Hallo...yu-yu pada mau potong rambut apa nata rambu nih? Eke siap ngelayani kok. Ayo Siape yang duluan??" sambut seorang banci di dalam salon. Aku langsung menggeleng ketakutan.
    "oh my god, ini banci horor banget! Ya Allah ya robbi tolong lah hambamu ini,tolong selamatkan hamba dari banci yang ada di depan hamba! hamba tidak mau wajah hamba yang cakep jadi ancur." ucapku berdoa dalam hati
    "Mas kenapa? Ayo sini,eke permak tampang mas. Mas-nya cakep juga ya. Colek dikit dong." si banci mulai genit. Ken langsung ngacir. Amit-amit ketemu Banci model gitu.
    "Gue cowok normal kali," teriakku histeris. Joko ketawa ngakak didepan salon. Aku lari ngibrit keluar salon.
    Aku berdiri sambil bersandar di depan sebuah toko kosong. Dia ngos-ngosan, berusaha mengatur nafas. Satu jam kemudian Joko muncul dengan motor bututnya.
    Ken melongo melihat penampilan baru Joko. Beberapa detik kemudian tawanya meledak.
    ''Sialan tuh Banci, rambut gue jd ancur kayak gini!'' gerutu Joko sambil ngacak-ngacak rambut¥ yg mirip bulu kucing habis kehujanan. Aku tertawa lagi sambil megangi perutnya. Jupri cuma bisa mengumpat si Banci sialan itu. Karena dia ku tidak sedih lagi

    (Ariny Nurul Haq, Novelis, Martapura)

    15 Mei pukul 17:04 · · 1

  • Ali Sakit Wirasatriaji
    GOBLOKKU MENGGALAU


    Suatu ketika di kota perantauan, aku mendapat pekerjaan baru. Menjadi pengumpul Lateks (karet mentah) di hutan. Suatu hari aku membonceng motor teman, motor jadul alias jaman dulu. Dengan motor honda 90-an itu kami untuk kali pertama berangkat kerja di hutan.
    Pekerjaan kami sebagai penyadap karet membuat kami berpencar setelah memarkirkan motor. Inilah hari pertama kerja. Sungguh melelahkan.
    Singkat cerita, menjelang sore ketika aku menuju tempat parkirnya motor untuk pulang, temanku ternyata sudah berada di bawah bukit sana. Tiba-tiba terdengar teriakan temanku dari bawah bukit , “Maaas ,! maas pulang saja pakai motor, aku mau ke pasar malam.“
    Aku tak bisa berkata banyak. Kulihat dari atas bukit temanku sudah jauh naik angkot, dia tak tahu kalau aku tak bisa mengendarai sepeda motor.
    Aduh emak...
    Terpaksa di hari mulai gelap sejauh sepuluh kilo meter dengan naik turun pegunungan menuntun motor. Dalam hati cuma ada penyesalan, “mengapa aku malas belajar naik motor? Andai aku pandai naik motor mungkin tak begini jadinya.”
    Kulit wajah dan kepala terasa dingin semua. Aku tetap melanjutkan perjalanan sambil sesekali tengok kanan kiri takut ada begal. Tak ada air tak ada lampu, terkadang jatuh saking lelahnya.
    “Oh …” suara parau tak terasa keluar tanpa sadar.

    (Wirasatriaji, ngakunya Penulis)

    21 Mei pukul 9:09 melalui seluler · · 1

  • Bayu Rhamadani W
    ANGKA SENSITIF (LAGI)


    Aku mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Bali pada Bulan Maret 2009. Aku harus melakukan wawancara kepada penduduk yang menjadi sampel pencacahan.


    Setelah berhasil mewawancarai seorang bapak di rumah pertama, aku beranjak pergi menuju rumah kedua. Ternyata kepala keluarganya sedang bekerja sehingga aku mewawancarai istrinya.

    Ibu ini ditemani anak perempuannya. Dari pertanyaan awal dapat diketahui bahwa beliau adalah seorang guru dan anaknya sudah SMA. Sepertinya wawancara akan berjalan lebih mudah, batinku.
    ***

    “Perkiraan harga sewa rumahnya berapa, Bu?”

    “Tujuh ratus ribu.”

    Belum sempat diriku mencatat angka tersebut di kuesioner, tiba-tiba anaknya melancarkan aksi protes.

    “Dua ratus ribu saja, Bu.”

    “Rumah kita kan bagus, Nak. Wajar kalau harga sewanya segitu.”

    “Kalau kemahalan, siapa yang mau sewa rumah kita, Bu?”

    Mereka berdua berargumen sengit mengenai harga sewa rumah mereka. Aku pun hanya terdiam membisu. Padahal diriku hanya menanyakan perkiraan dan pemisalan saja.

    Ternyata batinku salah. Aku merasa dibohongi. Mereka juga salah mengerti. Meskipun serba salah lagi, tetapi aku yakin galau pasti berlalu di sini.

    Akun pun memberikan penjelasan dan akhirnya mereka berdua sepakat mengenai nilai sewa rumahnya. Perjuangan yang sangat berat bagiku untuk mendapatkan angka tersebut.

    Setelah semua pertanyaan selesai, aku mengucapkan terima kasih seraya memberikan souvenir kepada mereka berdua.

    (Bayu Rhamadani Wicaksono, Tukang Sensus di BPS, Jakarta Pusat)


  • Nimas Kinanthi
    Enak Juga Jadi Teman “Artis”


    Tingkah temanku ini, membuatku jengah. Sebut saja, Neni namanya. Aku terbelalak melihat dandanannya dihari pertama kami masuk kuliah. Wew! Bedak tebal, bulu mata bermaskara, plus lipstick merah menyala mirip tampilan ibu-ibu mau berangkat kondangan. Sepatu high heel menghias kedua kakinya. Lengkap sudah gaya Neni. Tidak seperti mahasiswi, tapi lebih mirip gaya penyanyi dangdut. Gubrak!
    “Nen, kamu nggak saltum nih?”
    “Kenapa memangnya, Rin? Ini hari pertama kuliah, harus all out!”
    Sesampai di kampus, Neni modar-mandir bergaya sok menguasai medan. Aku digandengnya kesana kemari, menyapa sana menyapa sini.
    “Eh, Papaku besok mau datang lho bersama Mamaku. Mereka ingin melihat kosku seperti apa. Kalian juga ya, kapan-kapan main ya,” kata Neni pada beberapa teman yang baru kami kenal. Sesekali dia sisipi ocehannya dengan kata “loe” atau “gue” mirip gaya bicara cewek Jakarte. Jiah…! Mendengarnya jadi panas telingaku. Padahal, kepadaku dia menceritakan orang tuanya dengan panggilan Emak dan Bapak?!
    Tapi ternyata, gaya narsis Neni cukup mujarab untuk menjaring perhatian teman-teman baru. Dalam sehari, Neni langsung akrab dengan mereka. Efeknya? Tentu saja, aku jadi ikutan banyak teman juga karenanya. Hihihi…

    Nimas Kinanthi, PNS, Kediri-Jatim


  • RM Prast Respati Zenar
    POPULASI
    Kembali aku bercerita tentang muridku, yang lagi-lagi harus membuat keningku berkerut. Saat pembelajaran IPA. Kebetulan materi sudah sampai pada pembahasan populasi makhluk hidup. Setelah menjelasakan materi, mereka kuberi tugas melakukan pengamatan pada sebidang tanah seluas satu meter persegi. Lembar pengamatan sudah dibagi. Akhirnya mereka melakukan tugasnya masig-masing di kebun dekat ladang kelapa sawit.
    “cikgu, bagaimana menghitung rumput yang banyak begitu?”
    “Hitung saja pelan-pelan.”jawabku,
    “cikgu, semutnya datang silih berganti. Susah menghitungnya.”Tanya muridku yang lain sambil menyeka peluh.
    “hitung saja yang ada di kotak, lalu yang diluar kotak stop dulu.”jawabku asal kena.
    Sebenarnya aku juga berpikir bagaimana menyetop semut merah yang begitu banyak, padahal itukan jalan udah miliknya semut. Diam-diam aku mengawasi muridku dari jauh. Awesome!, muridku menggali sepanjang pinggir garis kotak lalu diberinya air. Sementara yang di dalam dibiarkan keluar dulu. Cerdik.
    “cikgu, tadi kupu-kupunya cuma hinggap sebentar.”
    “cikgu, tadi ada burung gereja lewat di atas rumputku.”
    cikgu, bla..bla..bla… mereka masih bertanya tentang hewan-hewan yang cuma singgah atau sekedar lewat. Diawal aku terlanjur menjelaskan untuk mencatat semua apa yang ada di dalam kotaknya masing-masing.
    “catat saja, siapa suruh cuma singgah sebentar.”jawabku sambil memeriksa lembar pengamatan yang lain, aku melirik mereka dari balik kacamata minusku. Kulihat mereka saling berpandangan dan bergaruk-garuk kepala.
    (Sukamto Prasetyo, Guru, Malaysia)


  • Asep Fauzi Sastra
    SIBUK BIKIN NGAKAK
    Sibuk, memang sangat sibuk aku malam itu. Besok laporan PPL sudah harus dikumpul. Disela kesibukkanku menyusun laporan tersebut. Nada pesan ponselku ikut-ikutan sibuk berbunyi sedari tadi. Tapi tak kuperdulikan. Berbunyi lagi. Ah, aku sedikit kesal. Terpaksa aku buka pesan itu.
    “Apa kabar?, minta no.hape cewek donk,” aih, ternyata Yudi. Teman baikku yang lama tak terdengar kabarnya.
    “Baik. Kamana aja loe? Dateng-dateng minta no.hape cewek”.
    “Haha…, sibuk. Mana no.ceweknya?”
    Tak berfikir lama, kupilih kontak Isty yang satu kost dengan Helmila temanku yang kebetulan sedang jomblo.
    “Udah ijin belum?” tanyanya. Tak kubalas. Aku langsung sms Isty.
    “Dimana?”
    “Lagi di rumah Bibi, ngajarin keponakan ngaji. Kenapa?” aku heran. Sejak kapan Isty? Dan setahuku dia tak punya keluarga di sini.
    “Haha, tumben. Udah insyaf? Oh ya, ada temenku mau kenalan. Namanya Yudi”.
    “Boleh aja kalau mau kenalan,” manis, tak sesuai dengan Isty yang kukenal.
    “Ok, entar dia sms. Helmila ada di kostkan ya? Mau nganter laporan”.
    “Helmila siapa? Sejak kapan aku kost?”
    Aku semakin bingung dengan balasan pesannya. Tapi menjawab keanehan yang aku rasakan dari tadi.
    Hahaha…, aku baru sadar, malu telah salah orang. Ternyata Isty ini, teman sekolahku dulu yang memang pintar mengaji. Bukan Isty yang satu kost dengan Helmila.
    [Asep Fauzi Sastra, Mahasiswa, Kotabaru]



  • Mulyoto JJ
    Sang Pecinta Binatang
    Mulyoto JJ
    Entahlah dari mana putri kecilku ini mewarisi hobinya. Dia punya hobi memelihara binatang. Sepertinya, aku nggak suka-suka amat sama binatang. Ibunya juga biasa-biasa saja sama binatang.
    Galau juga menghadapi anakku yang sangat mencintai binatang itu. Tiap hari dia selalu merengek agar dibelikan sepasang kelinci lengkap dengan kandangnya, tapi aku selalu berjanji.
    “Yah, kapan beli kelincinya?” tanya putriku.
    Karena bosan terus-terusan ditagih putriku, kubelikan juga kelinci. Akibat cuaca buruk (dingin sekali), tidak sampai dua minggu kelinci itu mati.
    “Yah. Enaknya memelihara hewan apa yang tahan cuaca, dan gak gampang mati?” tanya putriku itu.
    “Kucing. Tapi kamu harus siap lho, kalau memelihara kucing!” kataku.
    “Memang ada apa dengan kucing?” tanya putriku.
    “Kucing itu kalau tidur gak mau sendiri. Ia tidur dengan yang punya. Kamu mau?”
    “Mau. Malah seneng,” katanya.
    Putriku lalu minta agar dibelikan kucing. Aku bilang, kucing sih, gak usah kita beli. Kita tangkap saja di jalanan depan rumah. Mulai esoknya, tiap hari sepulang sekolah putriku langsung duduk-duduk di depan rumah dan berusaha menangkap kucing yang lewat.
    Pada suatu malam aku melihat muka putriku berbekas garis-garis. “Kenapa mukamu?”
    “Dicakar kucing, Yah. Rupanya, kucing yang kutangkap tadi siang itu kucing garong.”
    (Mulyoto JJ, Guru, Mojokerto)


  • Chinglai Li
    DIKIRA KAMPUS


    Tak sempat menyelesaikannya di rumah, akhirnya aku pun terpaksa memasukkan semua sisa tugas (koreksian ^_^) ke dalam tas file agar mudah membawanya ke sekolah.
    ***
    Pukul 06.00. Hari itu aku berangkat dengan menumpang sebuah angkot berwarna biru langit. Namun padatnya penumpang memaksaku tuk menempati posisi di samping Pak Sopir.
    Beberapa menit melaju, sampailah aku pada tempat yang dituju.
    “Depan kiri ya, Bang!” ujarku seraya mengulurkan ongkos.
    “Sabar, Neng! Kalem! Kalem, ya. Tenang aja, masih jauh kok” jawab Pak Sopir santai.
    “Depan, Bang!” ujarku lagi setengah berteriak menyadari bahwa angkot masih saja melaju tanpa ada tanda-tanda akan segera berhenti. “Kiri, Bang!”
    “Iya sabar, Neng! Kampus, kan?! Masih jauh atuh…” ujarnya sambil terus mengemudi.
    “Bukan, Bang. Yaaah… kejauhan deh” tuturku seraya memandangi gerbang depan sekolah yang semakin menjauh dari pandangan. “Saya mau ke sekolah, bukan ke kampus…” tuturku menahan rasa kecewa.
    “Ooh…maaf, Neng. Kirain mau ke kampus” seloroh Pak Sopir bingung.
    Angkot pun akhirnya berhenti dan aku terpaksa harus berbalik arah dengan berjalan kaki.
    “Kampus?! Kenapa aku dikira mau ke kampus?! Gara-gara tas file yang kubawa kah?!” pikirku tak mengerti seraya menyusuri jalan menuju sekolah. Beberapa menit kemudian aku pun tiba dengan beberapa bulir keringat membasahi keningku.
    ***
    (Chinglai Li-Guru-Jakarta)


  • Mulyoto JJ
    Kisah Sang Guru
    Mulyoto JJ
    Ketika akan memulai pelajaran, siswa les private-ku berkata: “Pak, bercerita dulu, ya! Plis!”
    “Ya. Mau cerita apa, Kamu? Kisah tentang Kancil?” tanyaku pada anak berbadan gemuk itu.
    “Gak, Pak. Heri gak suka cerita-cerita binatang. Heri hanya suka kisah hantu-hantuan,” ujarnya tersenyum.
    Hah? Sepertinya aku gak punya koleksi cerita horor. Galau juga menghadapi anak ini.
    Akhirnya aku tebak-tebakan saja dengan sedikit menyerempet dunia horor. “Her, kamu tahu gak bedanya antara manusia dan hantu?” tanyaku memanaskan suasana agar konsentrasi anak itu bangkit.
    “Kata Mama, manusia kalau berjalan, kakinya menginjak tanah. Sedangkan hantu, kakinya akan mengambang di atas tanah,” jawabnya.
    “Betul. Tapi ada lagi. Kalau manusia, bibir atas di bawah hidung ada cekungannya. Kalau hantu, bibir atas di bawah hidung, gak ada cekungannya,” kataku.
    Heri lalu memegangi bibir atas di bawah hidungnya sendiri. Ada cekungnya. Berarti dia terrgolong manusia, bukan hantu.
    “Sebentar ya, Pak! Heri mau pipis dulu!”
    Aku menunggu dia selesai pipis dan akan segera memulai pelajaran. Tapi Heri kembali dengan bibir atas yang ditegangkan sehingga tidak tampak adanya cekungan. Dia tidak bicara sepatah katapun agar bisa menahan bibir atasnya.
    “Wah, masak aku mengajar private anaknya kuntilanak,” kataku menggelitik perutnya yang gendut itu.

    (Mulyoto JJ, Guru, Mojokerto)


  • Mulyoto JJ Habis diposting di sini terus diposting di wall grup ini atau di wall-nya masing-masing, ya?

  • Chinglai Li
    MENDADAK JEMPOL


    Acara silaturahmi keluarga memang terasa seru dan lebih berkesan jika menampilkan kreasi menu masakan buatan sendiri. Namun dampaknya, tumpukan piring lengkap dengan gelas, sendok, garpu, serta perabot besar lainnya tak lagi dapat dihindari. Melihat kondisi dapur yang tak cukup memungkinkan, memaksaku pindah ke halaman belakang. Hadirnya pohon rindang membuatku merasa nyaman untuk melakukan aksi mencuci piring dalam skala besar. Lengan baju segera kusingsingkan. Begitu asiknya melakukan aksi itu, hingga tak sadar akan hadirnya seekor lebah.

    “Hus! Hus!” Kukibaskan kedua tangan berusaha mengusirnya. Tak sia-sia, ia pun pergi tanpa permisi. Aku kembali melanjutkan aksi.

    “Aw!” Kurasakan ada sesuatu menusuk salah satu jemariku. Namun tak kutemukan satu pun duri atau benda tajam lainnya. Kucoba menahan rasa sakit itu dan meneruskan aksi mencuci piring. Hingga akhirnya konsentrsiku buyar oleh rasa gatal yang teramat sangat. Ya, jari telunjuk yang sejak tadi kurasakan sakit bagai tertusuk duri tiba-tiba menjadi sangat gatal. Tak kuasa lagi menahan rasa itu, aku pun menyerah. Kuhentikan aktifitas dan segera mencuci tangan bersih-bersih.

    “Alamaaak!!!” Mataku terperanjat panik menyaksikan jari telunjuk yang telah berubah menyerupai jempol. Selidik demi selidik, akhirnya kuketahui bahwa si lebah rupanya telah kembali dan menyengat jari telunjukku hingga berubah bentuk menjadi maksi ^^.
    ***

    (Chinglai Li-Guru-Jakarta)

    6 jam yang lalu · · 1

  • Musafir Pena Bin Langga
    MISTERI NOMOR PENJUAL GADO-GADO


    Siang hari, Aku tiba di rumah dengan keadaan lapar sepulang beraktifitas sebagai tenaga pengajar.
    “Bu..masak apa hari ini?” Tanyaku sambil mengelus perut.
    “Ibu nggak masak Nak, bagaimana kalau beli gado-gado aja?” Tawar Ibuku yang melihat keadaaanku semakin gelisah karena lapar.
    Tiga menit kemudian, Ibu memesan gado-gado ditempat langganannya , tak perlu repot-repot, biasanya Ibu hanya tinggal menelpon dan menunggu pesanannya diantar ke rumah.
    “Ya sudah Bu, nggak papa deh, yang penting makan.” Rengekku seperti anak manja. Aku adalah anak laki-laki Ibu yang masih berstatus single, meski pun sudah bekerja, tetapi aku masih tinggal dengan Ibuku.
    “Bu, kok lama sekali yah?” rasa lapar yang hinggap semakin menjadi.
    “Coba Nak kamu susul aja ke warungnya.” Pinta Ibu padaku.
    Aku bergegas menyusul untuk mengambil yang Ibu pesan, Aku terkejut ternyata warung gado-gado langganan Ibu tutup. Wah, lantas tadi Ibu telpon siapa? Gumamku dalam hati. Aku kembali ke rumah dengan tangan kosong. Sesampai di rumah, aku menjelaskan pada Ibu bahwa warung gado-gado langganannya ternyata tutup.
    “Kalau gitu tadi yang Ibu telpon siapa ya Nak, tadi Ibu bilang, gado-gado tiga bungkus, pedas, dan jangan lupa pakai lontong.” Tuturnya padaku.
    “Kalau Ibu salah sambung, Lantas siapakah yang tadi Ibu telpon?”
    Kami pun berdua tertawa terbahak-bahak meski dalam hati bertanya-tanya.
    (Langga Gustanto- Penulis-Cikarang)


  • Chinglai Li
    TUJUH DUA PULUH!


    Aku dan (sebutlah) Gea seorang teman dari Jurusan PLB sepakat untuk berangkat kuliah bersama. Dipilihlah terminal Blok M sebagai tempat bertemu. Bagai menunggu sang pangeran rasanya, semakin jarum jam berdetak maka semakin gelisah pula kami dibuatnya. Maklumlah, pagi itu ada ujian semester yang harus kami ikuti.

    Beberapa menit berlalu, bus yang ditunggu pun akhirnya tiba. Tapi…Huft! Kursi penuh dan kami terpaksa berdiri. Tak seperti biasa, suasana bus kali itu tampak sedikit berbeda. Sebagian besar penumpang yang ternyata adalah mahasiswa memilih mengisi waktunya dengan cara membaca, mengkaji ulang materi kuliah. Suasana bus pun menjelma tak ubahnya sebuah perpus kampus. Melihat pemandangan itu, kami berinisiatif melakukan hal yang sama. Namun tak demikian dengan Gea, ia justru terlihat asik melakukan gerakan isyarat yang menjadi materi kuliahnya. Aku terpesona, hingga tanpa sadar tanganku mulai menirukan gerakannya.

    Keasikan kami tiba-tiba terusik, seorang penumpang menatap tanpa kata. Hanya gerakan aneh yang ia tunjukkan pada kami. Kulihat jari telunjuk tangan kanan diketuk-ketukkan pada pergelangan tangan kirinya. Melihatku yang masih terdiam tak mengerti, Gea langsung buka mulut, “Tujuh, dua puluh!” ujar Gea seraya menunjuk jam yang sedang melingkar di tangannya. Orang tersebut tampak tercengang dan berkata, “Ooh…maaf, tadinya saya pikir…” tuturnya terputus.
    *****
    (Chinglai Li-Guru-Jakarta)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar