Air Mata dan Kebuntuan menulis
Pain gives you gain! –pepatah Inggris.
Penulis membenarkan pepatah tersebut. Ya, rasa “nyeri” justru memberi berkah bagi pengarang dalam berkarya. Perasaan yang luka dan perasaan yang nyeri menimbulkan ratapan. Bagi pengarang, ratapan bisa terungkapkan melalui kata-kata yang indah dan ketika dirangkai menjadi kalimat terasa begitu menyentuh pembacanya. Baik itu berupa puisi maupun prosa. Bahkan kenyerian, kepiluan, dan ratapan yang dituangkan lirik lagu akan membuat pendengarnya meneteskan air mata…Semua itu tercipta karena adanya kepekaan
Peka, peka dan peka harus senantiasa membaluti perasaan seseorang yang berambisi menjadi pengarang unggul. Dari kepekaan yang ada, seorang pengarang mampu melihat bintang mengerling, angina menari-nari, matahari tersenyum, ombak marah, rembulan kecewa, bunga-bunga tulip menitik kecewa, mawar merah cemburu pada anggrek yang tidak mudah layu, awan yang berang terhadap sayap-sayap pesawat terbang yang garang, merak jantan yang genit, dan sebagainya. Kepekaan itu kadang membuat pengarang tersenyum, lain hari tercenung, terpesona, bergairah,…, dan tak jarang menitikkan air mata.
Kepekaan membuat seorang pengarang menjadi sosok yang imajinatif, terpicu berkarya dan terus berkarya. Tapi, bukan berarti pengarang itu mampu terus menerus menulis. Ada kalanya mengalami kebuntuan, tidak mampu menulis. Atau, sedang menulis tiba-tiba berhenti karena terbentur kebuntuan yang sering kali membuat kecewa. Kasus kebuntuan disebut Writer’s block. Ini tidak hanya menimpa pengarang pemula, tapi bisa juga menimpa pengarang ulung.
Penyebabnya bermacam-macam, antara lain: kelelahan karena terlalu lama duduk mengarang, tubuh tidak fit, atau sedang dilanda bad mood. Bagi pemula yang masih sedikit pengalamannya dalam menulis, writer’s block dialaminya bisa jadi disebabkan antara lain karena miskin kosa kata, kekurangan materi yang ditulisnya, tidak matang pada waktu plotting, meniru karya orang lain, dan tidak berambisi punya naskah. Nah, jika anda mengalaminya, termasuk disebabkan oleh apa kira-kira?
Bila seseorang mengalami kebuntuan, seyogyanya berhenti menulis. Gunakan waktu saat jeda menulis untuk istirahat sambil menghirup kopi atau the panas misalnya. Atau, duduk di pinggir kolam sambil memandangi bunga teratai? Aneka buah, misalnya apel atau jeruk yang anda konsumsi akan membuat tubuh segar.
Berbincang-bincang santai dengan teman, membicarakan karya yang sedang ditulis bisa membangkitkan gairah kembali menulis. Membaca buku yang ada kaitannya dengan naskah yang sedang ditulis dan mengalami kebuntuan, akan memberi inspirasi dan kelancaran menulis terus berlanjut. Baik juga mendengarkan musik sweet-soft, akan membelai jiwa, memulihkan kesegaran dan produktivitas. Kemudian, menyiram tubuh dengan shower berair hangat : semangat menulis yang semula redup akan kembali menyala dan membuahkan karya.
Pain gives you gain! –pepatah Inggris.
Penulis membenarkan pepatah tersebut. Ya, rasa “nyeri” justru memberi berkah bagi pengarang dalam berkarya. Perasaan yang luka dan perasaan yang nyeri menimbulkan ratapan. Bagi pengarang, ratapan bisa terungkapkan melalui kata-kata yang indah dan ketika dirangkai menjadi kalimat terasa begitu menyentuh pembacanya. Baik itu berupa puisi maupun prosa. Bahkan kenyerian, kepiluan, dan ratapan yang dituangkan lirik lagu akan membuat pendengarnya meneteskan air mata…Semua itu tercipta karena adanya kepekaan
Peka, peka dan peka harus senantiasa membaluti perasaan seseorang yang berambisi menjadi pengarang unggul. Dari kepekaan yang ada, seorang pengarang mampu melihat bintang mengerling, angina menari-nari, matahari tersenyum, ombak marah, rembulan kecewa, bunga-bunga tulip menitik kecewa, mawar merah cemburu pada anggrek yang tidak mudah layu, awan yang berang terhadap sayap-sayap pesawat terbang yang garang, merak jantan yang genit, dan sebagainya. Kepekaan itu kadang membuat pengarang tersenyum, lain hari tercenung, terpesona, bergairah,…, dan tak jarang menitikkan air mata.
Kepekaan membuat seorang pengarang menjadi sosok yang imajinatif, terpicu berkarya dan terus berkarya. Tapi, bukan berarti pengarang itu mampu terus menerus menulis. Ada kalanya mengalami kebuntuan, tidak mampu menulis. Atau, sedang menulis tiba-tiba berhenti karena terbentur kebuntuan yang sering kali membuat kecewa. Kasus kebuntuan disebut Writer’s block. Ini tidak hanya menimpa pengarang pemula, tapi bisa juga menimpa pengarang ulung.
Penyebabnya bermacam-macam, antara lain: kelelahan karena terlalu lama duduk mengarang, tubuh tidak fit, atau sedang dilanda bad mood. Bagi pemula yang masih sedikit pengalamannya dalam menulis, writer’s block dialaminya bisa jadi disebabkan antara lain karena miskin kosa kata, kekurangan materi yang ditulisnya, tidak matang pada waktu plotting, meniru karya orang lain, dan tidak berambisi punya naskah. Nah, jika anda mengalaminya, termasuk disebabkan oleh apa kira-kira?
Bila seseorang mengalami kebuntuan, seyogyanya berhenti menulis. Gunakan waktu saat jeda menulis untuk istirahat sambil menghirup kopi atau the panas misalnya. Atau, duduk di pinggir kolam sambil memandangi bunga teratai? Aneka buah, misalnya apel atau jeruk yang anda konsumsi akan membuat tubuh segar.
Berbincang-bincang santai dengan teman, membicarakan karya yang sedang ditulis bisa membangkitkan gairah kembali menulis. Membaca buku yang ada kaitannya dengan naskah yang sedang ditulis dan mengalami kebuntuan, akan memberi inspirasi dan kelancaran menulis terus berlanjut. Baik juga mendengarkan musik sweet-soft, akan membelai jiwa, memulihkan kesegaran dan produktivitas. Kemudian, menyiram tubuh dengan shower berair hangat : semangat menulis yang semula redup akan kembali menyala dan membuahkan karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar