oleh Septiani Ananda Putri pada 8 April 2012 pukul 2:05 ·
Atmosfer yang bening membiaskan goresan kuas Tuhan pada malam ini. Langit seperti terjangkau sejengkal saja. Perhiasannya lebih berkilau dari biasa. Rembulan pun merayap pelan dibalik Pohon Mlinjo. Bersiap menduduki puncak langit. Membagi rona senyum terang benderang. Dia tak henti menatap bola mata raksasa itu dengan penuh harap, Ain kecil.
“Ayo lihat disini Mak!” teriaknya penuh semangat. Angin turut menghentak. Daun Pohon Mlinjo terusik dan berguguran perlahan, menggoda tanah yang menunggunya di bawah.
Nyamuk memulai pencarian darah segar penambal dahaganya, Ain kecil menjadi korban setia. Karena ia tak pernah menepis, enggan menepuk juga membinasakan makhluk itu. Kediaman terindah bagi para ‘drakula’ mungil.
“Ayo Mak, jangan lama-lama! Temani Ain! Langit sedang cerah!” teriak Ain kembali. Suaranya melengking membuat jangkrik malu untuk bersuara, bahkan desau angin membisu ketika melewati gadis kecil itu.
Rembulan menapaki malam dengan gaun cahaya yang menjuntai hingga ke dalam kornea Ain. Gadis itu enggan berkedip, menatap penuh kerinduan.
“Aduh, Pohon Mlinjo! Kenapa sih kamu harus tinggi? Aku tak bisa melihatnya!” ujar Ain geram dan bangkit untuk berpindah tempat. Bersandarkan tumpukan kayu bakar milik Simbah, kembali menengadah taburan sinar rembulan.
“Andai aku bisa terbang ya Mak. Pasti aku bakal kesana buat memeluk rembulan itu. Nenek terlalu kurus. Napasnya juga sering sesak saat malam, aku tak bisa tidur. Enak ya menjadi Burung Prenjak, Kupu-kupu, Capung, Kelelawar, mereka bisa melihat rembulan dari dekat. Kapan ya aku bisa seperti mereka?” ujar Ain lirih. Bayangan gaun rembulan memudar karena genangan air di matanya.
Sesaat ia rasa damai, hingga gemerisik daun Mlinjo mengusir sunyi.
“Kenapa kalian berisik? Diamlah!” tegur Ain dengan marah.
Namun dedaunan itu kini mulai berani untuk menentang Ain. Mereka semakin ramai ditemani kicauan mengerikan burung gagak di kejauhan. Angin pun sayup membelai rumput yang sedari tadi tertidur pulas.
“Kalian kenapa sih? Jangan berisik! Nenek sedang tidur! Aku tak bisa menikmati rembulan itu jika kalian seperti ini! Diam semua!” teriak Ain dengan wajah merah padam. Tapi sia belaka, mereka tak takut lagi.
Bahkan awan menjamah langit dengan angkuhnya.
“Oh, tidak! Rembulan! Jangan datang sekarang awan! Pergi! Kumohon Pergi!” ratap Ain dalam isak tangis. Tapi awan terlalu jauh untuk mendengarnya. Bahkan ia mengundang kilat untuk ikut serta mengusir kebahagiaan Ain.
“Kumohon! Aku belum puas menatap mata itu! Mak!” rintih Ain kian pilu mengiris gemuruh. Daun Mlinjo berterbangan menjauh menuju kegelapan. Nyamuk telah menghilang sedari tadi. Jangkrik mencari perlindungan. Rumput telah berkhianat bersama amukan badai. Pohon Mlinjo bergetar hebat bernyanyi melawan Ain yang kini sendiri.
“Kalian semua jahat! pengkhianat! Malam, hempaskan mereka semua! Sibakkan awan agarku dapat kembali merengkuh Emak!” perintahnya untuk terakhir kali. Tapi malam telah bersekongkol kali ini. Ia menuruti mereka semua. Mengguyur Ain dengan hujan deras.
“Maaaakkkkkkkkk!”
Gadis itu berlutut menyerah.
“Itu siapa? Kenapa dia hujan-hujanan malam-malam begini?” tanya seorang pria yang baru datang dari kota
di dalam mobilnya.
“Oh, dia Ain. Sejak ibunya meninggal tiga tahun yang lalu ia jadi begitu. Kasihan ia, setiap malam menatap rembulan. Yang selalu ia anggap ibunya.” jawab Ponijan.
Badai mereda. Jiwa Ain terbang meninggalkan jasadnya. Menembus atmosfir dan ruang hampa. Menuju mata langit.
Semarang, 8 April 2012
bagus, meski agak terganggu dengan terlalu banyak kiasan ... rasanya penggambarannya terlalu hyperbola kalo untukku.. tapi tetep bagus kok.. suka
BalasHapussaya sedang mencoba memperbanyak kiasan,
Hapusternyata kebanyakan ya?
hmm
saran yang sangat berharga
^_^
Terimakasih,